Hujan turun perlahan di sore yang sepi, mengetuk kaca jendela seperti alunan melodi yang membuai. Di dalam kamar mandi, uap hangat memenuhi ruangan, membaurkan aroma sabun yang lembut dengan udara lembap yang menggoda.































Lana berdiri di bawah pancuran, membiarkan air hangat mengalir di sepanjang tubuhnya, menghapus jejak lelah setelah hari yang panjang. Matanya terpejam, merasakan setiap tetes air menyentuh kulitnya, mengalir perlahan dari bahu, melewati lekuk tubuhnya, hingga menghilang di sela-sela kakinya.
Cermin di depannya mulai berembun, menciptakan bayangan samar yang nyaris abstrak. Ia mengangkat tangannya, mengusap embun di permukaan kaca, menatap pantulan dirinya dengan mata yang sedikit sendu, tapi penuh dengan sesuatu yang lebih dalam—sebuah perasaan yang sulit dijelaskan.
Sentuhan lembut sabun cair menyusuri setiap inci kulitnya, busa putih membalutnya dalam dekapan halus yang membelai lebih dari sekadar tubuh, tapi juga pikirannya. Ia menikmati sensasi itu, membiarkan dirinya tenggelam dalam momen yang terasa begitu pribadi, begitu intim.
Di luar, hujan masih turun dengan ritme yang sama, mengiringi desahan napasnya yang semakin dalam. Ia menutup mata, merasakan air membasuh segala yang melekat di dirinya—bukan hanya kotoran atau debu dari dunia luar, tapi juga beban pikiran yang ia bawa sepanjang hari.
Saat akhirnya ia memutar keran dan air perlahan berhenti, ia berdiri di sana sejenak, menikmati ketenangan yang masih tersisa. Setetes air jatuh dari ujung rambutnya, menelusuri tengkuknya, lalu jatuh ke kulit yang kini terasa lebih hidup.
Dengan langkah ringan, ia meraih handuk, membalut tubuhnya yang masih hangat oleh sentuhan air. Senyum kecil terbit di sudut bibirnya, seperti rahasia kecil yang hanya ia sendiri yang tahu.
Di luar sana, hujan masih bernyanyi. Dan di dalam, ia menikmati malam yang baru saja dimulai.
0 Comments