Angin sore menyelinap melewati celah balkon, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Di bawah cahaya temaram, dia berdiri, punggungnya membelakangi dunia, hanya aku yang menjadi saksi keindahan siluetnya. Jemariku secara naluriah menyusuri garis lengannya, menikmati kehangatan yang memancar dari kulitnya. Nafasnya menghangatkan udara di antara kami, menciptakan debar yang tak perlu kata-kata untuk dimengerti.








Dia tidak bergerak, tapi aku tahu dia menyadari kehadiranku. Pundaknya sedikit naik turun seiring napasnya yang tenang. Di bawah langit yang mulai berwarna jingga keunguan, rambutnya bergerak pelan tertiup angin, beberapa helai menyentuh wajahku, membuat dada ini berdesir tak menentu.
Aku mendekat, membiarkan batas di antara kami memudar sedikit demi sedikit. Keheningan terasa begitu intim, seolah waktu enggan bergerak maju. Jemariku menemukan jalannya ke telapak tangannya, merasakan hangat yang menyusup hingga ke dada. Dia tidak menarik diri, justru jari-jarinya mengerat, menahan genggaman itu seperti menyimpan sesuatu yang tak ingin lepas begitu saja.
“Apa yang kau pikirkan?” tanyaku pelan, suaraku hampir tenggelam dalam semilir angin.
Dia menghela napas panjang sebelum menjawab. “Tentang langit. Tentang bagaimana warna-warna senja selalu berubah, tapi selalu tetap indah.”
Aku tersenyum, meski dia tak melihat. “Seperti kita?”
Dia tak segera menjawab. Hanya ada detik-detik panjang yang mengisi jarak di antara kami sebelum akhirnya dia menoleh perlahan. Matanya bertemu dengan mataku, memantulkan semburat cahaya keemasan dari ufuk barat. Tatapan itu tidak tergesa-gesa, seperti ingin menyimpan setiap detail yang ada di hadapannya.
Aku mengangkat tanganku, menyentuh pipinya yang terasa sedikit dingin karena angin sore. Bibirnya terkatup rapat, tapi ada sesuatu di sana—sebuah rahasia yang menunggu untuk terungkap. Perlahan, aku mendekat, membiarkan jarak di antara kami semakin tipis. Nafasku dan nafasnya bertemu di udara yang semakin dingin, menciptakan kehangatan yang hanya kami yang bisa rasakan.
Jemarinya bergerak, naik dari genggaman tanganku ke lenganku, lalu berhenti di dadaku, tepat di atas detak jantung yang berlari lebih cepat dari biasanya. Aku tidak mengatakan apa pun, tidak perlu. Karena dalam keheningan ini, tubuh kami sudah berbicara lebih banyak dari sekadar kata-kata.
Sore itu, senja turun dengan perlahan, tapi aku tahu perasaan ini semakin meninggi. Ada sesuatu di antara kami yang menghangat, mengalir seperti arus halus yang tak bisa dihentikan. Aku menutup mata sejenak, menikmati sensasi ini, membiarkan angin membawa semua yang tersimpan dalam hati tanpa perlu terburu-buru.
Malam nanti akan datang. Dan mungkin, kami akan tetap di sini—bersama, dalam debar yang belum selesai.
0 Comments