Pesta itu ramai, penuh suara tawa dan dentingan gelas, tetapi yang kutangkap hanya tatapan matanya dari kejauhan. Dia berdiri di sudut ruangan, senyumnya tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk mengirimkan pesan. Saat aku mendekat, hawa tubuhnya menyatu dengan kehangatan di ruangan. Sebuah sentuhan ringan di jemariku, lalu lirikan penuh arti. Tanpa sepatah kata, kami sudah saling mengerti.





Aku tidak langsung berbicara, hanya membiarkan atmosfer di antara kami berbicara lebih dulu. Musik mengalun pelan di latar, mengisi ruang dengan melodi yang nyaris tenggelam dalam suara obrolan orang-orang di sekitar. Namun, di sini, di titik ini, hanya ada dia dan aku.
Jemariku masih merasakan sisa sentuhannya, ringan namun tak bisa diabaikan. Dia menyesap minumannya perlahan, matanya tetap tertuju padaku seakan membaca sesuatu di balik raut wajahku. Aku mengangkat gelasku sendiri, membiarkan cairan dingin itu melembabkan tenggorokanku, mencoba meredam debaran yang mulai naik tanpa sebab yang jelas.
“Sudah lama sejak terakhir kali kita bertemu dalam situasi seperti ini,” katanya akhirnya, suaranya tidak terlalu keras, tapi cukup untuk terdengar jelas di antara riuh pesta.
Aku tersenyum kecil, menyesap minuman sekali lagi sebelum menjawab. “Tapi sepertinya kita selalu tahu di mana harus menemukan satu sama lain.”
Dia tertawa pelan, nada suaranya bergetar lembut, hampir seperti bisikan yang menelusup di antara musik dan suara-suara yang memenuhi ruangan. “Mungkin,” ujarnya, “atau mungkin kita memang tidak pernah benar-benar kehilangan jejak.”
Aku menatapnya lebih dalam, membaca makna yang terselip di antara kata-katanya. Dia masih sama, masih memiliki cara unik untuk berbicara tanpa perlu mengatakannya secara gamblang.
Tiba-tiba, seseorang melewati kami, bahunya hampir menyentuh tubuhku, tetapi dia lebih dulu meraih lenganku, menarikku sedikit ke arahnya. Sentuhan itu singkat, namun cukup untuk membuatku menyadari betapa dekatnya kami sekarang.
Aku bisa merasakan detak jantungnya jika aku cukup memperhatikan, bisa menangkap aroma samar dari parfumnya yang berpadu dengan udara yang dipenuhi aroma anggur dan bunga-bunga meja.
“Kau ingin keluar sebentar?” tanyanya, lirih, seolah menantangku untuk menjauh dari keramaian ini.
Aku tak langsung menjawab. Sebagai gantinya, aku membiarkan jari-jariku bergerak perlahan di sepanjang pinggiran gelasku sebelum akhirnya mengangguk kecil.
Tatapannya menangkap isyarat itu, dan tanpa perlu kata tambahan, dia bergerak lebih dulu. Aku mengikuti langkahnya, membiarkan kami meninggalkan ruangan yang penuh sesak dengan suara dan cahaya, menuju tempat di mana hanya ada kami berdua—dan cerita yang masih belum selesai.
0 Comments