Gulungan ombak berbisik di kejauhan, sementara pasir hangat masih terasa di telapak kaki kami. Angin laut memainkan helaian rambutnya, membuatnya tampak lebih bebas dari biasanya. Dia menoleh, senyumnya samar tapi penuh makna. Tangannya menyentuh lenganku, hanya sebentar, namun cukup untuk menciptakan getaran halus di dalam dada. Malam ini bukan hanya tentang bintang dan laut, tapi juga tentang sesuatu yang tak kasatmata, namun terasa nyata.







Kami berjalan perlahan di sepanjang garis pantai, membiarkan kaki kami terbenam dalam pasir basah yang dingin. Ombak kecil berkejaran, meninggalkan jejak buih putih yang sekejap menghilang. Udara di antara kami terasa sarat dengan sesuatu yang tidak terucapkan, sesuatu yang hanya bisa dirasakan dalam keheningan yang nyaman.
“Apa yang kau pikirkan?” tanyanya, suaranya nyaris tenggelam dalam suara deburan ombak.
Aku menoleh, menatapnya. Cahaya bulan memantulkan kilauan lembut di matanya, membuatnya tampak lebih dekat, lebih nyata. “Aku hanya berpikir… tentang bagaimana malam ini terasa berbeda,” jawabku jujur.
Dia mengangkat alis, seolah meminta penjelasan lebih. Aku menghela napas perlahan, membiarkan angin membawa kata-kataku. “Biasanya laut terasa luas, terlalu besar untuk kupahami. Tapi malam ini, laut terasa lebih hangat, lebih akrab.”
Dia tersenyum, lalu menendang pasir ringan ke arahku, membuatku terkekeh. “Mungkin karena kau tidak sendirian,” katanya pelan, tetapi aku bisa merasakan sesuatu yang lebih dalam di balik kata-katanya.
Aku melangkah lebih dekat, jemariku tanpa sadar menyentuh punggung tangannya yang masih menggenggam sandal. Dia tidak menghindar, hanya membiarkan kulit kami bersentuhan selama beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya.
“Apakah kau sering ke sini?” tanyaku, mencoba mengalihkan perhatianku dari denyut kecil yang mulai terasa di ujung jariku.
Dia mengangguk, menatap laut sejenak sebelum menjawab. “Ya. Pantai selalu bisa menenangkan.” Lalu dia menoleh lagi padaku, suaranya lebih pelan, lebih intim. “Tapi malam ini terasa lebih istimewa.”
Aku tidak tahu apakah itu hanya permainan kata-kata atau sesuatu yang lebih dari itu, tetapi aku membiarkan senyum kecil terbentuk di bibirku.
Kami melanjutkan langkah, tanpa perlu tergesa-gesa. Di ujung pantai, ada batu besar tempat ombak pecah menjadi buih putih. Dia menarikku ke sana, duduk di atasnya, lalu menepuk tempat kosong di sampingnya.
Aku menurut, duduk cukup dekat hingga bahu kami bersentuhan. Di bawah langit penuh bintang, kami hanya duduk diam, menikmati udara asin yang membelai kulit.
“Apa kau ingin malam ini berakhir?” tanyanya tiba-tiba, suaranya nyaris seperti bisikan.
Aku menoleh, menatapnya dalam-dalam. Ada sesuatu di sana—sebuah pertanyaan yang lebih besar dari yang ia ucapkan.
Aku tidak menjawab dengan kata-kata. Sebagai gantinya, aku membiarkan jemariku bergerak, menemukan jalannya ke tangannya yang masih bertumpu di batu. Sentuhan kami ringan, tapi cukup untuk menjawab pertanyaannya.
Malam masih panjang. Dan aku tidak ingin ini berakhir terlalu cepat.
0 Comments