Bagian 1: Pertemuan di Gym
Aldo baru saja bergabung di sebuah gym ternama di pusat kota. Sebagai mahasiswa tahun kedua, ia mulai merasa tubuhnya kurang bugar setelah berbulan-bulan sibuk dengan kuliah dan tugas. Hari pertama di gym terasa sedikit canggung baginya, dengan berbagai alat fitness yang terlihat asing. Ia mencoba untuk fokus, tapi ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
Di sudut ruangan, seorang wanita berdiri di depan cermin, membenahi rambutnya yang panjang dengan gerakan anggun. Tubuhnya kencang dan proporsional, mengenakan sport bra berwarna hitam dan legging ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Wajahnya cantik, dengan tatapan mata tajam yang penuh percaya diri.
Tanpa sengaja, Aldo dan wanita itu bertatapan. Wanita itu tersenyum tipis, lalu mendekatinya. “Pertama kali ke gym, ya?” tanyanya dengan suara lembut namun menggoda.
Aldo mengangguk, merasa gugup. “Iya, kelihatan banget, ya?”
Wanita itu terkekeh pelan. “Sedikit. Tapi aku suka semangat pemula seperti kamu. Namaku Liana. Kamu?”
“Aldo. Senang bertemu denganmu, Kak… eh, Tante?” Aldo tersenyum canggung.
Liana mengangkat alisnya, lalu tertawa. “Kak Liana saja. Aku belum setua itu, kan?” godanya.
Obrolan mereka terus berlanjut, membahas latihan, gaya hidup sehat, hingga beberapa topik santai. Liana tampak berusia sekitar 35 tahun, namun wajahnya masih terlihat segar dan tubuhnya sangat terawat. Aldo merasa nyaman berbicara dengannya, meskipun ada sesuatu dalam cara Liana memandangnya yang membuatnya sedikit gelisah.
Saat hendak pulang, Liana mengeluarkan ponselnya. “Aldo, boleh aku simpan nomormu? Biar nanti kalau kamu butuh tips atau ingin latihan bareng, bisa langsung hubungi aku.”
Aldo tak berpikir panjang. Ia memberikan nomornya, dan tak lama kemudian, notifikasi WhatsApp masuk di ponselnya. “Sekarang kamu punya kontakku. Jangan ragu untuk menghubungi, ya?” Liana berkata sambil tersenyum.
Bagian 2: Percakapan yang Menggoda

Malam harinya, Aldo masih memikirkan pertemuannya dengan Liana. Wanita itu begitu menarik—elegan, percaya diri, dan memiliki aura yang sulit dijelaskan. Saat ia sedang termenung, ponselnya berbunyi. Pesan dari Liana.
Liana: “Lagi apa, Aldo?” Aldo: “Baru selesai mandi, Kak. Lagi santai.” Liana: “Bagus. Besok kamu jadi ke gym lagi? Aku bisa bantuin kalau kamu mau.” Aldo: “Boleh! Aku masih agak bingung dengan beberapa alat di sana.” Liana: “Oke, nanti aku ajarin. Tapi ada syaratnya.” Aldo: “Syarat? Apa tuh?” Liana: “Kamu traktir aku smoothie setelah latihan. Setuju?”
Aldo tersenyum membaca pesan itu. Liana sepertinya memang menikmati interaksi ini.
Aldo: “Setuju! Aku yang pilih rasa smoothienya, ya?” Liana: “Deal. Aku percaya seleramu.”
Percakapan itu terus berlanjut hingga larut malam. Semakin lama, nada Liana terdengar semakin menggoda. Ia sering memberikan pujian halus pada Aldo, membuat pemuda itu semakin penasaran dengan sosoknya.
Bagian 3: Dari Gym ke Hotel
Seiring waktu, hubungan mereka semakin dekat. Setiap kali bertemu di gym, ada momen-momen kecil yang membuat Aldo semakin tertarik—cara Liana menyentuh lengannya saat mengoreksi posisinya, cara matanya menatap dalam ketika mereka bercanda, atau sekadar tawa kecil yang terdengar begitu intim.
Suatu malam, setelah latihan bersama, mereka duduk di sudut kafe kecil di dekat gym. Liana memainkan sedotan di gelas smoothienya, matanya menatap Aldo dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Aldo, kamu sudah punya pacar?” tanyanya tiba-tiba.
Aldo menggeleng. “Belum. Aku terlalu sibuk kuliah.”
Liana tersenyum, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit. “Kamu tahu, aku ini janda. Sudah lama sendiri. Kadang, aku juga butuh teman ngobrol yang menyenangkan.”
Aldo merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Ia bukan anak kecil yang naif.
“Kalau begitu, aku bisa jadi teman ngobrolmu, Kak.”
Liana menatapnya beberapa detik sebelum tersenyum tipis. “Aku suka caramu berpikir, Aldo. Malam ini kamu ada rencana?”
“Belum, kenapa?”
“Ikut aku ke suatu tempat?”
Aldo tak bertanya lebih lanjut. Ia mengikuti Liana ke parkiran, masuk ke dalam mobilnya, dan melihat bagaimana wanita itu mengarahkan kendaraan menuju sebuah hotel mewah di pusat kota.
Setelah check-in, mereka masuk ke kamar luas dengan pemandangan kota yang indah. Liana menyalakan lampu temaram dan meletakkan tasnya di meja.
“Santai saja, Aldo. Aku hanya ingin menikmati waktu bersama seseorang yang bisa membuatku merasa hidup lagi,” katanya dengan suara pelan.
Aldo menelan ludah. Ia tahu, malam ini akan menjadi malam yang berbeda dari semua malam yang pernah ia jalani.
Bagian 4: Malam yang Menggoda

Liana duduk di tepi ranjang, menyandarkan tubuhnya dengan santai. “Kamu kelihatan tegang, Aldo,” katanya sambil tersenyum.
Aldo menggaruk tengkuknya, merasa canggung. “Aku… hanya tidak terbiasa berada di sini.”
Liana bangkit, mendekati Aldo perlahan. “Tenang saja. Aku tidak menggigit,” bisiknya, tatapannya menusuk ke dalam matanya.
Ia menyentuh bahu Aldo dengan lembut, lalu berbisik, “Cukup nikmati saja waktumu di sini.”
Aldo merasakan kulitnya meremang di bawah sentuhan Liana. Wanita itu begitu percaya diri, begitu menggoda tanpa harus berusaha terlalu keras. Ia tahu, malam ini akan menjadi malam yang tak akan ia lupakan.
Bagian 5: Menyerah pada Hasrat
Liana menatap Aldo dengan senyum tipis, jarak di antara mereka semakin menipis. Tangannya dengan lembut menyentuh pipi Aldo, membuatnya semakin terpaku.
“Aku sudah lama tidak merasakan ini,” bisik Liana. “Seseorang yang benar-benar melihatku, bukan sekadar statusku.”
Aldo merasa tubuhnya memanas. “Aku ingin mengenalmu lebih dalam, Liana.”
Liana menarik Aldo ke dalam pelukan, membiarkan malam membawa mereka ke dalam pusaran hasrat yang selama ini tertahan.
Bagian 6: Akhir yang Tak Terduga
Malam itu, di kamar hotel yang hangat, Aldo dan Liana berbincang lebih dalam tentang kehidupan mereka. Tawa dan canda terus mengalir, hingga batasan di antara mereka menghilang.
Liana menatap Aldo dalam-dalam. “Terima kasih sudah membuatku merasa muda lagi,” bisiknya.
Aldo tersenyum. “Aku juga berterima kasih. Aku belajar banyak dari malam ini.”
Mereka menghabiskan waktu yang intim bersama, saling memahami tanpa kata-kata berlebihan. Malam berlalu dengan kebersamaan yang penuh makna, meninggalkan kenangan yang tak akan dilupakan.
Keesokan paginya, sebelum berpisah, Liana menggenggam tangan Aldo. “Jangan ragu untuk menghubungiku lagi, ya?”
Aldo mengangguk. “Tentu, Liana. Aku akan selalu ingat malam ini.”
Mereka berpisah dengan senyum, meninggalkan jejak kenangan di hati masing-masing.
(End)
0 Comments