Bab 1 – Kedatangan Liana
Langit sore mulai meredup saat Adrian melangkah pulang ke rumahnya setelah bekerja seharian di kafe. Keringat masih melekat di tubuhnya meskipun angin sore berhembus cukup sejuk. Ia melepaskan apron baristanya sebelum masuk, mengusap lehernya yang sedikit lengket, lalu menghela napas panjang.
Hari itu, lagi-lagi ia mendapat email penolakan dari salah satu perusahaan tempatnya melamar kerja. Sejak lulus kuliah beberapa bulan lalu, Adrian masih belum mendapatkan pekerjaan tetap. Ia mencoba melamar ke banyak tempat, tapi selalu berakhir dengan jawaban yang sama: “Kami memilih kandidat lain.”
Sementara menunggu panggilan lain, ia bekerja paruh waktu sebagai barista di sebuah kafe di daerahnya. Bukan pekerjaan buruk, tetapi bukan juga sesuatu yang bisa ia lakukan selamanya.
Saat ia mendorong pintu rumah, aroma masakan langsung menyambutnya.
“Adrian, kamu sudah pulang?” terdengar suara ibunya dari dapur.
“Iya, Ma.”
Adrian melangkah ke ruang tamu dan meletakkan tasnya di sofa. Ayahnya sedang duduk di kursi favoritnya, membaca koran sore sambil sesekali menyeruput teh hangat.
“Hari ini bagaimana?” tanya ayahnya tanpa menoleh dari koran.
Adrian menghela napas, lalu duduk di sofa. “Masih belum ada panggilan kerja, Pa.”
Ayahnya, Pak Budi, adalah pria berusia 50-an dengan sosok yang masih tegap. Dulu ia seorang pegawai negeri, tapi kini sudah pensiun dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, menikmati masa tuanya dengan bercocok tanam di halaman belakang.
“Jangan terlalu dipikirkan. Nanti pasti ada jalan,” katanya dengan nada tenang, tetap membaca koran.
Ibunya, Bu Rina, keluar dari dapur dengan celemek masih terpasang di tubuhnya. Wanita itu berusia sekitar 48 tahun, tetapi masih terlihat segar dan penuh energi. “Kebetulan kita kedatangan tamu spesial malam ini,” katanya sambil tersenyum.
Adrian mengangkat alis. “Siapa?”
Belum sempat ibunya menjawab, suara langkah kaki terdengar dari pintu depan, diikuti suara seorang wanita yang terdengar akrab di telinga Adrian.
“Adrian! Wah, kamu sudah besar sekarang.”
Adrian menoleh dan terdiam sejenak. Liana berdiri di ambang pintu, tersenyum lebar.
Ia mengenakan blouse putih tipis yang membentuk lekuk tubuhnya dengan elegan, dipadukan dengan celana panjang ketat yang memperlihatkan kakinya yang jenjang. Rambut hitam panjangnya tergerai dengan sempurna, berkilauan terkena sinar lampu ruang tamu. Wajahnya masih sejelita yang Adrian ingat, bahkan mungkin lebih cantik dari bayangan di ingatannya.
“Tante Liana?” Adrian mengerjapkan mata, sedikit terkejut.
“Haha, jangan panggil aku ‘tante’. Aku masih muda, tahu,” katanya sambil tertawa kecil.
Adrian tersenyum kecil, lalu bangkit untuk menyalaminya. Namun, alih-alih berjabat tangan, Liana justru menariknya ke dalam pelukan.
Pelukan itu terasa begitu lembut dan hangat, dan wangi parfumnya langsung menyusup ke indera penciuman Adrian—aroma yang lembut dan sedikit manis, seperti bunga melati di malam hari.
“Sudah lama ya,” kata Liana sambil menepuk-nepuk bahunya.
Adrian hanya bisa tersenyum canggung. Dulu, saat ia masih kecil, Liana hanyalah sosok tante yang jarang ia temui karena sibuk dengan pekerjaannya. Kini, ia bukan lagi sekadar tante—ia adalah wanita dewasa dengan pesona yang sulit diabaikan.
Ibunya datang dari dapur sambil membawa piring-piring makanan ke meja makan. “Liana akan menginap di sini beberapa hari. Dia baru datang dari luar kota.”
“Oh, begitu…” Adrian mengangguk. “Selamat datang, Tante—eh, maksudku… Liana.”
Liana tersenyum menggoda. “Nah, begitu lebih baik.”
Ayah Adrian yang sejak tadi diam akhirnya berbicara. “Bagaimana perjalananmu, Liana?”
“Lumayan melelahkan, Kak Budi.” Liana duduk di sofa dan menyandarkan tubuhnya. “Aku baru selesai ngurus beberapa hal sebelum ke sini.”
Ibunya duduk di sampingnya dan menatapnya dengan penuh perhatian. “Aku dengar kamu akhirnya resmi bercerai?”
Suasana ruangan sedikit hening sejenak.
Liana menghela napas dan tersenyum tipis. “Iya… akhirnya selesai juga. Setelah semua yang dia lakukan, aku nggak bisa lagi mempertahankan pernikahan itu.”
Adrian menatapnya diam-diam, ingin tahu lebih jauh. Ia memang mendengar bahwa pernikahan Liana bermasalah, tetapi ia tak pernah benar-benar tahu detailnya.
“Dia selingkuh?” tanya ibunya dengan nada prihatin.
Liana mengangguk. “Berkali-kali. Aku pikir dia akan berubah… tapi ternyata tidak. Akhirnya aku memilih untuk pergi daripada terus disakiti.”
Ibunya menggenggam tangannya. “Maaf ya, Liana. Aku tahu kamu pasti sudah mencoba bertahan.”
Liana tersenyum lembut. “Tidak apa-apa, Kak. Aku sudah berdamai dengan semuanya. Mungkin ini yang terbaik untukku.”
Adrian tetap diam, tetapi di dalam hatinya, ada rasa kasihan sekaligus kekaguman. Wanita ini begitu kuat.
“Yang penting sekarang aku bebas,” lanjut Liana dengan nada lebih ceria. “Aku bisa memulai hidup baru, mengejar apa yang aku inginkan, tanpa harus terus memikirkan orang yang nggak menghargai aku.”
Ibunya tersenyum. “Kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa tinggal di sini lebih lama.”
“Terima kasih, Kak. Aku cuma butuh beberapa hari buat menenangkan pikiran.”
“Kalau begitu, ayo kita makan dulu,” kata ayah Adrian, mencoba mencairkan suasana.
Semua orang akhirnya beranjak ke meja makan, menikmati hidangan yang sudah disiapkan.
Adrian mencuri pandang ke arah Liana beberapa kali selama makan malam. Wanita itu tampak begitu anggun meskipun sedang makan dengan santai.
Ia menepis pikirannya. Dia hanya tanteku.
Namun, jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang berbeda. Ada rasa penasaran, rasa tertarik yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Dan itulah awal dari segalanya.
Bab 2 – Penasaran yang Tak Terkendali
Hari itu, Pak Budi berkemas untuk perjalanan bisnisnya ke luar kota. Ia jarang bepergian jauh, tetapi kali ini ada urusan pekerjaan yang memaksanya pergi selama beberapa hari. Sebelum berangkat, ia sempat berbicara dengan Bu Rina dan Adrian di ruang tamu.

“Ayah pergi dulu, jaga rumah baik-baik, ya,” ucapnya sambil menepuk bahu Adrian.
“Iya, Pa,” jawab Adrian santai.
Ibunya tersenyum lembut, membantu membetulkan dasi suaminya. “Hati-hati di jalan, ya.”
Di sudut ruangan, Liana duduk di sofa sambil menyeruput secangkir kopi. Ia mengenakan kaos putih ketat dengan celana pendek, terlihat santai tetapi tetap menawan dengan auranya yang khas.
“Sampaikan salamku ke teman-temanmu di sana, Kak,” katanya sambil tersenyum.
Pak Budi tertawa kecil. “Pasti.”
Setelah itu, ia pun pergi, meninggalkan hanya tiga orang di rumah itu—Adrian, ibunya, dan Liana.
Liana di Kafe
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Adrian bekerja di kafe sebagai barista, berusaha mengalihkan pikirannya dari stres mencari pekerjaan tetap.
Namun, ada satu hal baru yang membuat hari-harinya lebih menarik—Liana mulai sering datang ke kafe.
Awalnya, ia hanya mampir untuk minum kopi, duduk santai sambil membaca atau sekadar menghabiskan waktu. Namun, kehadirannya menarik banyak perhatian.
Liana adalah pusat perhatian di mana pun ia berada.
Setiap kali ia datang, ada saja pengunjung pria—terutama anak-anak muda seusia Adrian atau sedikit lebih tua—yang mencoba menggoda.
“Eh, Kakak sendirian? Aku boleh nemenin?” seorang pria berambut cepak mencoba mengajaknya bicara.
Yang lain pun ikut-ikutan.
“Kak, sudah punya pacar belum?”
“Kok sendirian sih? Sayang banget.”
Liana hanya menanggapinya dengan senyum kecil, tak terganggu sama sekali.
Adrian, yang melihat semua itu dari balik meja bar, merasa tidak nyaman. Entah kenapa, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tak suka melihat Liana digoda seperti itu.
Saat istirahat, ia mendekati meja Liana dan berkata, “Maaf kalau tadi mereka bikin Tante nggak nyaman…”
Liana mendongak, tersenyum seolah hal itu bukan masalah besar. “Hah? Oh, itu? Biasa aja.”
“Tapi mereka kurang ajar.”
Liana tertawa kecil dan menyandarkan punggungnya di kursi. “Adrian, aku sudah biasa dengan hal seperti itu. Apalagi kalau di tempat nge-gym… lebih banyak laki-laki yang suka cari perhatian.”
Adrian mengernyit. “Di gym juga?”
Liana mengangguk. “Ya, biasalah. Ada yang pura-pura ngajarin teknik olahraga, ada yang sengaja lewat di dekatku biar dilihat. Tapi aku nggak ambil pusing. Kalau kita terlalu menanggapi, mereka makin berani.”
Adrian menghela napas. Ia tidak tahu kenapa, tapi semakin lama, ia semakin penasaran dengan kehidupan tantenya.
Kejadian di Malam Hari
Hari itu Adrian pulang agak larut setelah bekerja. Saat ia sampai di rumah, suasana sepi. Lampu ruang tamu masih menyala, tapi tak ada suara siapa pun.
Ketika ia mencoba membuka pintu, ternyata terkunci.
“Oh, sial…” gumamnya sambil mengetuk pintu. “Tante! Ma! Bukain pintunya!”
Beberapa detik kemudian, ada suara langkah kaki dari dalam rumah.
Klek!
Pintu terbuka.
Namun, yang membuat Adrian membeku bukan karena pintunya, melainkan sosok yang membukanya.
Liana.
Dan yang lebih mengejutkan lagi, ia hanya mengenakan handuk.
Adrian tercekat. Handuk putih itu melilit tubuhnya begitu pendek, hanya menutupi bagian dadanya dan sedikit bagian pahanya. Rambut panjangnya masih basah, beberapa tetes air jatuh dari ujungnya. Aroma sabun dan shampoo melati menguar dari tubuhnya.
“Oh, kamu sudah pulang?” tanyanya santai, seolah tak sadar bahwa ia hampir telanjang di depan keponakannya.
Adrian menelan ludah. “I-iya…”
Liana tersenyum kecil, lalu membalikkan badan, berjalan menuju kamarnya.
Adrian berdiri di ambang pintu, tidak bisa mengalihkan pandangan.
Dari belakang, paha jenjang Liana tampak begitu jelas. Setiap langkahnya membuat handuk itu sedikit terangkat, nyaris memperlihatkan pantatnya.
Adrian langsung merasa darahnya berdesir.
Ia ingin berpaling, tapi tubuhnya membeku. Matanya tak bisa lepas dari pemandangan di depannya.
Saat hampir sampai di kamarnya, Liana berhenti sejenak dan menoleh ke arah Adrian.
“Kok diem aja?” tanyanya, sedikit menggoda.
Adrian tersentak, buru-buru mengalihkan pandangan. “Eh, nggak… aku cuma…”
Liana hanya terkekeh kecil sebelum masuk ke kamarnya dan menutup pintu.
Adrian berdiri di sana, jantungnya berdegup kencang.
Apa yang baru saja terjadi?
Kenapa ia merasa begitu tertarik?
Kenapa bayangan tubuh Liana masih ada di kepalanya?
Dan sejak saat itu, rasa penasarannya semakin tak terkendali.
Bab 3 – Godaan yang Semakin Nyata
Malam semakin larut, tetapi Adrian masih terjaga di dalam kamarnya. Lampu sudah dimatikan, tetapi pikirannya terus bergemuruh, membuatnya sulit untuk terlelap. Bayangan Liana terus menghantuinya.
Sejak kejadian malam itu—ketika tantenya membukakan pintu hanya dengan handuk yang nyaris melorot—Adrian merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.
Ia tahu seharusnya ia tidak berpikir macam-macam. Liana adalah adik ibunya, seorang wanita yang lebih tua, dan seseorang yang seharusnya ia hormati. Tetapi, bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan pesona alami wanita itu?
Cara ia tersenyum, cara ia berjalan, cara ia berbicara dengan begitu lembut namun menggoda…
Adrian berbalik di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang gelap. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi setiap kali ia memejamkan mata, bayangan tubuh Liana yang dibalut handuk pendek muncul lagi di benaknya.
Ia mendesah panjang. Kenapa ia semakin penasaran?
Godaan yang Menghantui
Hari-hari berlalu, tetapi perasaan itu tidak kunjung hilang.
Setiap pagi saat mereka sarapan, Liana duduk di meja dengan pakaian santainya yang selalu tampak sedikit menggoda. Kadang ia hanya memakai kaos kebesaran tanpa lengan dengan celana pendek ketat, memperlihatkan kulit kakinya yang mulus.
Saat mereka berbincang, Adrian mulai memperhatikan hal-hal kecil yang dulu tak pernah ia sadari—seperti bagaimana Liana memainkan rambutnya saat berpikir, atau bagaimana ia menggigit bibirnya tanpa sadar ketika sedang fokus membaca sesuatu.
Semuanya terasa begitu… menarik.
Dan ini membuat Adrian semakin penasaran.
Obrolan Malam yang Membawa Perubahan
Malam itu, setelah makan malam, Adrian dan Liana duduk di teras belakang rumah, menikmati udara malam yang sejuk. Ibunya sudah tidur lebih dulu, jadi hanya mereka berdua yang terjaga.
Liana duduk santai di kursi, mengenakan piyama tipis berwarna krem yang sedikit membentuk lekuk tubuhnya.
“Kamu kelihatan banyak berpikir,” kata Liana sambil menyesap teh hangatnya.
Adrian tersentak kecil. “Hah? Oh, enggak kok. Cuma kepikiran kerjaan aja.”
Liana tersenyum lembut. “Masih belum ada panggilan?”
Adrian menggeleng. “Belum. Aku mulai berpikir untuk mencari kerja di luar kota, mungkin lebih banyak kesempatan di sana.”
Liana mengangkat alisnya. “Kalau gitu, kenapa nggak ikut aku ke Jakarta?”
Adrian menoleh dengan kaget. “Hah?”
Liana tersenyum. “Aku sudah memutuskan untuk kembali ke Jakarta besok. Aku harus melanjutkan pekerjaanku. Dan kalau kamu benar-benar ingin mencari kesempatan baru, aku bisa bantu.”
Adrian terdiam, berpikir. Pergi ke Jakarta? Bekerja di kota besar? Itu adalah sesuatu yang selama ini hanya ada dalam rencananya, tetapi tidak pernah benar-benar ia pikirkan dengan serius.
“Aku… nggak yakin,” gumamnya.
Liana menatapnya dalam. “Kamu sudah dewasa, Adrian. Kamu harus berani mengambil keputusan. Kalau kamu ingin maju, kamu harus berani keluar dari zona nyaman.”
Adrian menelan ludah. Ia tahu Liana ada benarnya. Dan dalam hati kecilnya, ada alasan lain yang membuat tawaran ini terasa begitu menggoda—ia bisa lebih sering bertemu dengan Liana.
Seolah bisa membaca pikirannya, Liana tersenyum kecil, lalu tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke Adrian.
Jantungnya langsung berdetak lebih cepat.
Dan sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, Liana mengecup bibirnya—pelan, ringan, tetapi cukup untuk membuat darahnya berdesir.
Mata Adrian membelalak. Apa yang baru saja terjadi?
Liana menarik diri, lalu tersenyum.
Adrian masih terdiam, tidak bisa memproses semuanya dengan cepat.
Liana berdiri, merapikan rambutnya, lalu berbisik, “Pikirkan baik-baik, ya.”
Lalu, tanpa menunggu jawaban, ia melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan Adrian yang masih terpaku di tempatnya.
Jantungnya masih berdegup kencang.
Apa yang sebenarnya Liana inginkan darinya?
Dan lebih penting lagi… apa yang sebenarnya ia inginkan dari Liana?
Malam itu, Adrian menyadari satu hal:
Ia tak bisa menghindar lagi.
Bab 4 – Godaan dalam Jarak Jauh
Setelah Liana kembali ke Jakarta, hidup Adrian kembali ke rutinitas biasanya. Namun, ada satu hal yang berubah—perasaan kosong yang terus menghantuinya.
Hari-harinya terasa hambar. Ia bangun pagi, bekerja sebagai barista, pulang ke rumah, lalu nongkrong dengan teman-temannya. Mencari lowongan pekerjaan pun masih menjadi bagian dari kesehariannya, tetapi tidak ada yang benar-benar menarik perhatiannya.
Namun, ada satu hal yang selalu ia tunggu setiap hari: telepon dari Liana.
Percakapan yang Semakin Dekat
Awalnya, Liana hanya meneleponnya sekali sehari, di sore hari saat Adrian masih bekerja.
“Hey, sibuk?” suara Liana terdengar di ponselnya.
Adrian tersenyum kecil saat melihat panggilan video masuk. Ia mengintip ke arah kafe yang cukup ramai, lalu berjalan ke sudut ruangan untuk menjawabnya.
“Lagi kerja nih, Tante. Kenapa?”
“Hei, aku sudah bilang, jangan panggil Tante,” protes Liana sambil tertawa.
Adrian terkekeh. “Baiklah, Liana. Ada apa?”
Liana tersenyum di layar, wajahnya masih tampak segar meski hari itu ia tampak sedikit lelah. “Nggak ada apa-apa. Aku cuma pengen ngobrol.”
Adrian merasa aneh. Kenapa Liana tiba-tiba sering meneleponnya?
Namun, ia tak keberatan. Malah, ia mulai menikmati momen ini.
Seiring waktu, panggilan mereka menjadi lebih sering.
Awalnya hanya di sore hari, tetapi kemudian berlanjut hingga malam, saat Adrian sudah berada di rumah.
Liana biasanya menelepon saat sedang bersantai di apartemennya di Jakarta.
“Kamu udah makan?” tanya Liana sambil bersandar di sofa dengan piyama tipisnya.
“Udah,” jawab Adrian, menatap layar ponselnya dengan senyum kecil.
Obrolan mereka berlangsung seperti pasangan yang sedang menjalin hubungan jarak jauh.
Mereka membicarakan banyak hal—tentang pekerjaan, tentang rencana hidup, bahkan tentang kenangan masa kecil.
Namun, ada sesuatu yang berubah.
Percakapan mereka semakin intim.
Godaan Halus di Gym
Suatu hari, saat Adrian sedang istirahat kerja, Liana menelepon lagi.
Namun, kali ini berbeda.
Di layar, Adrian bisa melihat Liana sedang di gym, mengenakan pakaian olahraga ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya dengan sempurna.
“Lagi apa?” tanya Adrian.
“Lagi di gym,” jawab Liana santai. “Cuma iseng pengen video call kamu dulu sebelum mulai latihan.”
Adrian menelan ludah. Keringat sudah mulai membasahi tubuh Liana, dan setiap gerakannya terasa… menggoda.
“Kenapa tiba-tiba video call?”
Liana tersenyum misterius. “Entahlah… mungkin aku cuma mau pamer.”
Adrian terdiam sejenak. Pamer? Pamer apa?
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, Liana sudah meletakkan ponselnya di samping, lalu mulai berolahraga.
Adrian bisa melihat semuanya—bagaimana tubuhnya bergerak, bagaimana ototnya bekerja, bagaimana pakaiannya yang ketat menempel sempurna di tubuhnya.
Ia tidak mengatakan apa pun, tetapi ia tak bisa mengalihkan pandangan.
Dan ini membuatnya semakin penasaran.
Percakapan di Malam Hari yang Semakin Intim
Malam itu, setelah pulang dari kerja, Adrian kembali berbaring di tempat tidurnya. Ponselnya bergetar—panggilan dari Liana.
Ia tersenyum kecil dan mengangkatnya.
“Kamu belum tidur?” tanya Adrian.
“Belum. Kamu juga belum, kan?”
Mereka berdua berbicara seperti pasangan yang sedang berpacaran, bercanda dan tertawa kecil.
Namun, kali ini percakapan mereka menyentuh hal-hal yang lebih sensitif.
“Jadi…” suara Adrian sedikit ragu, tetapi rasa ingin tahunya lebih besar. “Aku penasaran… setelah bercerai dari suamimu, gimana rasanya hidup sendiri?”
Liana tersenyum tipis. “Awalnya sepi. Tapi aku menikmatinya sekarang. Aku bisa melakukan apa pun yang aku mau tanpa harus memikirkan orang lain.”
Adrian menelan ludah. Suaranya terdengar begitu santai, tetapi juga menggoda.
“Dan… kalau lagi kesepian?”
Liana mengangkat alis. “Maksudnya?”
“Kamu tahu… kalau kamu sedang… bernafsu?”
Adrian tidak tahu dari mana keberanian itu datang, tetapi kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
Liana menatapnya di layar ponsel, lalu tersenyum samar.
“Aku lampiaskan dengan olahraga,” katanya santai.
Adrian tersenyum kecil. “Cuma itu?”
Liana terkekeh pelan, lalu menggigit bibirnya.
“Kalau sudah nggak bisa ditahan… ya, aku masturbasi.”
Adrian merasa jantungnya berdegup kencang.
Mereka terdiam sesaat. Ada tegangan di antara mereka yang begitu nyata.
Liana masih menatapnya dari layar, dengan ekspresi yang sulit dibaca.
“Apa?” tanya Liana pelan, seolah menantang.
Adrian menggeleng cepat. “Nggak, nggak apa-apa.”
Liana hanya tersenyum. “Kamu masih polos, ya?”
Adrian tertawa canggung. “Mungkin.”
Liana mendesah pelan. “Aku rasa aku sudah harus tidur.”
“Tapi kamu belum kelihatan ngantuk.”
Liana tersenyum menggoda. “Mungkin aku butuh sesuatu sebelum tidur.”
Adrian menelan ludah. “Sesuatu seperti apa?”
Liana menatapnya sebentar, lalu mengedipkan sebelah matanya sebelum memutuskan panggilan.
Layar ponsel menjadi gelap, tetapi debaran jantung Adrian masih berlanjut.
Malam itu, ia tahu satu hal—hubungannya dengan Liana sudah berubah.
Dan ini baru permulaan.
Bab 5 – Godaan yang Semakin Tak Terkendali
Setelah malam itu, hubungan Adrian dan Liana berubah total. Percakapan mereka semakin vulgar, semakin dalam, semakin panas.
Setiap kali chatting, topik pembicaraan mereka tak lagi sekadar tentang pekerjaan atau keseharian. Ada sesuatu yang terpendam di balik setiap kata yang mereka ucapkan—godaan yang semakin nyata.
Percakapan yang Makin Berani
Suatu malam, saat Adrian sedang berbaring di kamarnya, pesan dari Liana muncul di layar ponselnya.
Liana: Kamu udah tidur?
Adrian: Belum. Kenapa?
Liana: Cuma pengen ngobrol. Aku lagi rebahan di kasur, capek habis nge-gym.
Adrian: Oh ya? Pasti lagi pakai baju ketat lagi ya?
Liana mengirim foto selfie, memperlihatkan dirinya di cermin gym. Kaos ketatnya membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna, dengan sedikit bagian bawah perutnya terlihat.
Liana: Mungkin… 😉
Adrian menelan ludah.
Adrian: Kenapa sih suka banget bikin orang penasaran?
Liana: Habis aku suka aja ngegodain kamu. Kamu lucu kalau lagi penasaran.
Adrian: Aku nggak cuma penasaran… aku juga kepikiran terus.
Liana mengirimkan foto lagi. Kali ini lebih menggoda—hanya menampilkan lekukan pinggangnya dengan pakaian olahraga yang begitu ketat membentuk siluet pantat yang begitu sempurna.
Liana: Hmm… penasaran seberapa besar?
Adrian menelan ludah. Ia tahu arah pembicaraan ini semakin berani.
Adrian: Kalau aku jawab jujur, jangan marah ya.
Liana: Coba aja…
Adrian akhirnya mengetikkan sesuatu yang lebih vulgar. Ia menjelaskan seberapa besar efek yang ditimbulkan Liana padanya, bahkan saat ia sedang sendirian di kamar.
Namun, alih-alih marah, Liana malah menantangnya kembali.
Liana: Hmm… kalau gitu, aku juga boleh tanya sesuatu?
Adrian: Apa?
Liana: Seberapa besar? 😉
Adrian terdiam. Ia tahu maksudnya.
Adrian: Maksudnya?
Liana: Ya… ukurannya.
Adrian sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia tak menyangka Liana akan seberani ini.
Adrian: Kenapa kamu mau tahu?
Liana: Karena aku penasaran.
Adrian tersenyum kecil, merasa permainan ini semakin berbahaya. Ia memberi petunjuk tanpa benar-benar menjawab.
Adrian: Kalau aku jawab, kamu juga harus jawab satu pertanyaan dari aku.
Liana: Deal. Sekarang giliran kamu.
Adrian akhirnya menjawab, tak percaya bahwa ia bisa berbicara seberani ini dengan Liana. Namun, setelah itu, ia gantian bertanya.
Adrian: Kalau begitu, giliran aku. Ukuran kamu berapa?
Liana tak langsung menjawab. Ia malah mengirimkan sebuah video singkat—kamera menyorot lekukan tubuhnya dari samping, memperlihatkan bayangan yang samar di balik tanktop ketatnya.
Liana: Coba tebak sendiri… 😉
Adrian menelan ludah. Ia semakin penasaran.
Puncak Godaan: Video Call di Tengah Malam
Setelah percakapan panas itu, tiba-tiba Liana berhenti membalas.
Liana: Nanti aja lanjutinnya…
Adrian: Maksudnya?
Liana: Tunggu aja, aku bakal video call nanti malam.
Adrian menatap layar ponselnya dengan jantung berdebar. Apa yang akan terjadi?
Ia menunggu. Setiap menit terasa begitu lama. Hingga akhirnya, pukul 11:15 malam, ponselnya bergetar.
Panggilan video dari Liana.
Adrian buru-buru menjawab. Layar menampilkan Liana yang sedang tiduran di atas kasur.
Wajahnya terlihat begitu menggoda. Rambut panjangnya berantakan dengan cara yang seksi, dan hanya selimut tipis yang menutupi tubuhnya.
Liana: Kamu nungguin aku?
Adrian: Ya jelas lah.
Liana tersenyum kecil, lalu menggeliat di kasurnya. Selimutnya sedikit melorot, memperlihatkan belahan dadanya yang menggoda.
Adrian menelan ludah. Mata tak bisa lepas dari layar.
Adrian: Kamu pakai apa?
Liana menatapnya dengan senyum misterius.
Liana: Nggak pakai apa-apa…
Adrian terdiam sejenak, lalu mengusap wajahnya.
Adrian: Serius?
Liana hanya tersenyum, lalu menarik sedikit selimutnya ke bawah, memperlihatkan belahan dada yang begitu seksi dengan payudara yang hampir menyembul keluar.
Adrian: Terusin dong.
Liana terkekeh. “Lihat langsung aja. Datang ke Jakarta.”
Adrian semakin tak bisa berpikir jernih. Nafsu dan rasa penasarannya semakin menggila.
Percakapan mereka semakin panas. Liana menggoda dengan suara lembutnya, mereka berimajinasi lewat kata-kata dalam video call seperti orang yang sedang berbuat intim, sesekali terdengar desahan samar setiap kali ia bergerak.
Hingga akhirnya, Liana tersenyum tipis dan berkata, “Aku pengen menyelesaikan ini sendiri dulu, ya.”
Sebelum Adrian bisa berkata apa-apa, Liana mengecup layar ponselnya, lalu memutuskan panggilan.
Layar menjadi gelap.
Adrian terdiam di tempatnya, merasa begitu frustrasi dan tertantang.
Malam itu, ia tak bisa tidur.
Dan dalam kepalanya, hanya ada satu hal—ia harus pergi ke Jakarta.
Bukan hanya untuk kerja.
Tetapi juga untuk menemui Liana.
Bab 6 – Menuju Jakarta, Mengejar Impian dan… Liana
Hari demi hari berlalu setelah video call panas antara Adrian dan Liana.
Mereka masih terus berkomunikasi, tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Godaan-godaan itu semakin nyata, semakin intens. Namun, di balik semua itu, ada rencana besar yang mulai terwujud.
Kesempatan Emas dari Liana
Siang itu, saat Adrian sedang istirahat di kafe tempatnya bekerja, sebuah pesan masuk dari Liana.
📩 Liana: Aku ada kabar baik buat kamu. Perusahaan temanku butuh karyawan. Aku udah ngomongin kamu ke dia. Kirim CV sekarang, ya.
📩 Liana: Kalau mereka tertarik, kamu mungkin harus ke Jakarta besok untuk interview.
Adrian terdiam sejenak, jantungnya berdebar kencang.
Tentu saja, ini adalah kesempatan besar baginya—kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, kesempatan untuk meraih mimpi…
…dan yang paling penting, kesempatan untuk bertemu dengan Liana.
📩 Adrian: Serius? Besok?
📩 Liana: Ya. Kalau mereka tertarik sama CV kamu, kamu harus siap-siap berangkat. Jadi mulai sekarang, persiapkan semuanya.
📩 Liana: Aku tunggu di Jakarta. 😉
Adrian menghela napas panjang, menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk.
Ini bukan hanya tentang pekerjaan.
Ini tentang Liana.
Dan Adrian tahu, momen ini akan mengubah segalanya.
Persiapan dan Perpisahan Sementara
Begitu sampai di rumah, Adrian langsung memberi tahu orang tuanya.
“Apa? Besok?” tanya ibunya dengan ekspresi kaget.
“Iya, Ma. Tante Liana yang dapat informasi ini buat aku,” jelas Adrian.
Ayahnya mengangguk, tampak puas. “Bagus. Ini kesempatan bagus buat kamu.”
Ibunya masih tampak khawatir. “Tapi kamu mau tinggal di mana nanti? Kan belum pasti keterima?”
Adrian menggaruk kepalanya. “Sementara, mungkin tinggal sama Tante Liana dulu. Nanti kalau keterima, baru aku cari tempat sendiri.”
Ibunya menghela napas, lalu tersenyum. “Baiklah. Tapi jaga diri ya. Tante Liana memang baik, tapi jangan terlalu merepotkan dia.”
Adrian tersenyum kecil. Ibunya sama sekali tidak tahu bahwa semua ini memang sudah menjadi rencana dia dan Liana.
Di dalam hatinya, ia justru ingin ‘merepotkan’ Liana sesering mungkin.
Malam itu, ia mengemas barang-barangnya—cukup untuk beberapa hari ke depan.
Setelah itu, ia pergi ke kafe dan berbicara dengan pemiliknya, Reza, yang kebetulan adalah teman lamanya sejak SMA.
“Jadi lo mau cabut ke Jakarta?” tanya Reza sambil menatapnya dengan penuh minat.
“Belum pasti sih. Cuma interview dulu,” jawab Adrian.
Reza tersenyum sambil menepuk pundaknya. “Good luck, bro. Gue yakin lo bisa.”
Karena mereka sudah berteman lama, Reza memberi Adrian izin cuti beberapa hari tanpa masalah.
Semuanya terasa begitu mudah.
Seolah takdir sudah menuntunnya ke arah ini.
Menuju Jakarta: Impian dan Hasrat yang Berpadu
Pagi itu, Adrian bangun lebih awal dari biasanya.
Hari ini adalah hari besar.
Ia berpamitan kepada ibunya dengan pelukan hangat, lalu ayahnya mengantarnya ke bandara.
Di dalam pesawat, ia duduk diam sambil menatap jendela.
Perasaan di dadanya campur aduk—antusiasme, kegugupan, dan… sesuatu yang lain.
Sesuatu yang berhubungan dengan Liana.
Ia membayangkan bagaimana tatapan mata wanita itu saat menyambutnya nanti.
Bagaimana senyum nakalnya akan muncul saat mereka bertemu kembali.
Bagaimana… semuanya mungkin akan berubah menjadi lebih dari sekadar ‘keluarga’.
Ia menelan ludah, merasakan ketegangan dalam dirinya.
Ini bukan hanya tentang mengejar cita-cita.
Ini tentang mengejar Liana.
Dan kali ini, ia tak akan menahan diri lagi.
Bab 7 – Pertemuan yang Menggetarkan
Begitu pesawat Adrian mendarat di Jakarta, jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena gugup menghadapi wawancara kerja, melainkan karena akhirnya ia akan bertemu lagi dengan Liana.
Saat keluar dari bandara, matanya langsung mencari sosok yang sudah lama memenuhi pikirannya.
Dan di sana, di antara kerumunan, Liana berdiri dengan anggun, mengenakan blouse putih elegan yang dipadukan dengan rok selutut. Ia tampak begitu profesional, tetapi tetap memancarkan aura sensual yang khas.
Liana tersenyum saat melihatnya, lalu melangkah mendekat. “Akhirnya sampai juga,” katanya lembut.
Adrian mengangguk, lalu tanpa berpikir panjang, mereka saling berpelukan.
Sebuah pelukan singkat, tetapi cukup untuk membuat Adrian merasakan aroma parfumnya yang lembut dan kehangatan tubuhnya yang begitu nyata.
Setelah melepaskan pelukan, Liana mencium pipi Adrian dengan ringan, sebuah kebiasaan yang dulu biasa saja, tetapi kini terasa berbeda.
Adrian menelan ludah. Ia harus tetap tenang.
“Gimana perjalananmu?” tanya Liana, matanya menatap langsung ke arah Adrian.
“Baik. Cuma agak deg-degan sih,” jawab Adrian jujur.
Liana tersenyum tipis. “Deg-degan karena wawancara… atau karena aku?”
Adrian terdiam sejenak, lalu terkekeh kecil. “Dua-duanya.”
Liana tertawa, lalu meraih koper Adrian. “Ayo, kita makan dulu sebelum ke kantor. Aku tahu tempat yang enak.”
Makan Siang di Mall
Mereka mampir ke sebuah mall di pusat kota. Suasana restoran yang dipilih Liana cukup tenang, dengan pencahayaan temaram yang memberi kesan nyaman.
Adrian memperhatikan bagaimana Liana duduk dengan santai, menyilangkan kakinya dengan begitu anggun, sesekali memainkan ujung rambutnya sambil berbicara.
Sejak pertemuan ini, Adrian merasa bahwa Liana lebih menggoda dari sebelumnya.
Atau mungkin… karena sekarang ia melihatnya dari perspektif yang berbeda?
Mereka mengobrol santai selama makan siang.
“Jadi, ini pertama kalinya kamu ke Jakarta sendirian?” tanya Liana.
Adrian mengangguk. “Dulu pernah sama keluarga, tapi nggak pernah benar-benar tinggal lama.”
Liana tersenyum. “Kalau keterima, kamu harus mulai terbiasa. Jakarta itu keras, tapi kalau sudah tahu ritmenya, kamu bakal suka.”
Adrian menatapnya dalam. “Yang jelas, ada satu alasan besar kenapa aku mungkin bakal betah di sini.”
Liana menaikkan alisnya, tersenyum samar. “Oh ya? Dan itu apa?”
Adrian hanya tersenyum, tak langsung menjawab.
Liana tertawa kecil. “Hati-hati, Adrian. Aku nggak mau kamu salah fokus.”
Adrian hanya bisa tersenyum lagi, meski ia tahu betul bahwa pikirannya sudah tidak bisa fokus ke yang lain selain Liana.
Kunjungan ke Kantor Liana
Setelah makan siang, Liana mengajak Adrian ke kantornya untuk sekadar memperkenalkan.
Kantor itu cukup modern, dengan desain minimalis yang elegan. Beberapa rekan kerja Liana menyambutnya dengan ramah, beberapa bahkan sempat bercanda bahwa Adrian mirip “adiknya” Liana.
Adrian hanya tersenyum, tapi dalam hati ia ingin mengatakan, “Aku bukan adiknya.”
Setelah itu, Liana mengajaknya ke ruangannya sendiri.
“Sini, kamu bisa istirahat sebentar,” katanya sambil menunjuk sofa di sudut ruangan.
Adrian duduk, merasakan betapa nyaman ruangan itu.
“Aku harus menyelesaikan beberapa laporan dulu. Kamu tidur aja kalau ngantuk.”
Adrian mengangguk. “Oke.”
Tanpa ia sadari, kelelahan perjalanan membuatnya benar-benar tertidur di sofa itu.
Dibangunkan oleh Liana
Adrian terbangun karena suara lembut yang memanggil namanya.
“Adrian…”
Saat ia membuka mata, wajah Liana berada begitu dekat dengannya.
Mata Liana menatapnya dengan ekspresi lembut, dan Adrian bisa mencium aroma parfumnya dari jarak sedekat ini.
“Kamu beneran tidur nyenyak,” kata Liana sambil tersenyum.
Adrian mengusap wajahnya, merasa sedikit canggung. Ia tertidur begitu pulas, hingga tak menyadari waktu sudah senja.
“Kita pulang sekarang?” tanya Adrian, suaranya masih sedikit berat karena baru bangun.
Liana mengangguk. “Iya. Kita mampir makan dulu sebelum ke apartemenku.”
Adrian bangkit, masih sedikit mengumpulkan kesadarannya.
Namun, satu hal yang ia sadari dengan jelas adalah betapa nyamannya berada di dekat Liana.
Tiba di Apartemen Liana
Setelah makan malam, mereka akhirnya tiba di apartemen Liana.
Adrian mengamati sekeliling—apartemen ini cukup luas, modern, dan sangat rapi. Setiap sudutnya terasa begitu terawat, mencerminkan karakter penghuninya.
Ia melepas sepatu, menaruh koper, lalu duduk di sofa yang berada dekat dengan tempat tidur. Kasurnya tampak begitu empuk dan nyaman.
Liana menatapnya sambil tersenyum. “Nyaman?”
Adrian mengangguk. “Banget.”
Liana melangkah ke arah lemari, mengambil sebuah daster, lalu berjalan ke kamar mandi.
Saat itulah Adrian menyadari sesuatu—ada sebuah cermin besar yang mengarah langsung ke kamar mandi.
Liana masuk, tetapi pintu kamar mandi tetap sedikit terbuka.
Adrian menelan ludah.
Apa ini kebetulan… atau memang disengaja?
Liana tetap mengobrol dengannya dari dalam kamar mandi, tetapi sambil membelakangi cermin.
Satu per satu, ia mulai melepas pakaiannya.
Blouse yang tadi dipakainya meluncur turun dari tubuhnya, memperlihatkan punggungnya yang mulus.
Kemudian roknya, hingga hanya tersisa bra dan celana dalam hitam yang begitu menggoda.
Adrian menatap pantulan cermin itu dengan jantung berdegup kencang.
Liana pasti tahu bahwa ia sedang melihatnya.
Setelah itu, ia mengenakan dasternya dan keluar dengan santai, seolah tak terjadi apa-apa.
Liana duduk di samping Adrian, lalu bertanya dengan suara lembut, “Kamu mau mandi air hangat sekarang, atau aku duluan?”
Adrian yang masih terpaku dengan apa yang barusan dilihatnya hanya bisa menjawab, “Kamu duluan aja…”
Liana tersenyum tipis, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Adrian.
“Atau…” katanya pelan.
“…mau bareng?”
Adrian menelan ludah, terkejut dan kehabisan kata-kata.
Liana menatapnya dengan ekspresi misterius dan penuh tantangan.
Dan sebelum Adrian bisa menjawab, tangannya sudah menggenggam pergelangan tangan Adrian, perlahan menariknya ke arah kamar mandi.
Keduanya melangkah dengan perlahan menuju kamar mandi, Adrian masih belum sanggup menerima bahwa ini adalah kenyataan, berkali-kali ia menelan ludah, menatap ke arah tantenya sambil menghela nafas panjang.
Di dalam kamar mandi, Liana membuka dasternya dengan mudah, hingga memperlihatkan keindahan tubuhnya. Belahan dada yang begitu luar biasa, kulit putih dan mulus tanpa ada kerutan, dan Liana pun terdiam menunggu Adrian membuka pakaiannya.
Adrian melucuti pakaiannya satu persatu, hingga menyisakan celana dalam saja.
“Ini dibuka juga”, kata Liana sambil memelorotkan celana dalamnya.
“Wah udah tegang aja nih, belum juga disentuh,” kata Liana kembali sambil memegang kemaluan Adrian.
“Tolong …” Kata Liana sambil membelakangi Adrian, memberi kode untuk membuka pengait BH yang ia kenakan, kemudian Liana memelorotkan celana dalam yang ia kenakan.
Kini keduanya saling tatap, tanpa ada sekat, tanpa sehelai benangpun, impian pun jadi nyata, tubuh telanjang Tantenya sendiri ada di hadapan Adrian.
Bab 8 – Sebuah Akhir, Sebuah Awal
Air hangat mengalir dari shower, membasahi tubuh mereka berdua. Uap memenuhi kamar mandi, menciptakan atmosfer yang samar dan intim.
Adrian berdiri di belakang Liana, merasakan kehangatan tubuhnya di bawah pancuran air. Tangan Adrian perlahan bergerak, menyentuh pinggangnya, lalu naik ke bahunya, merasakan kelembutan kulitnya yang basah.
Liana tak berkata apa-apa. Ia hanya memejamkan mata, menikmati sentuhan Adrian yang begitu halus, seolah ragu tetapi juga penuh hasrat yang tak terbendung.
Saat ia berbalik, mata mereka bertemu, dan dalam hitungan detik, bibir mereka pun bertautan.
Ciuman itu panas, dalam, dan penuh gairah.
Adrian menarik tubuh Liana lebih dekat, merasakan bagaimana tubuh mereka yang basah saling menempel di bawah guyuran air.
Liana membalas dengan tarikan halus di rambut Adrian, membuatnya semakin tenggelam dalam momen itu.
Tangan Liana mulai mengocok secara halus kemaluan keponakannya itu, sementara itu jari-jari Adrian tak kalah lihai memainkan memek tantenya sendiri.
Tidak ada kata-kata, hanya desahan napas yang saling bercampur.
Liana menyudahi ciumannya, kemudian berjongkok, Adrian yang sudah paham maksudnya kemudian menyodorkan kemaluannya ke bibir Liana.
“Hmmpphh, kontolmu sudah besar ya,” kata Liana sambil melumat kemaluan Adrian.
Kepalanya maju mundur diikuti lenguhan oleh Adrian yang begitu menikmati ritme sentuhan bibir Liana.
Adrian pun mengangkat tubuh Liana, ingin bergantian posisi. Adrian berjongkok dan mengangkat sebelah kaki Liana, lalu lidahnya menjulur menjilati setiap inchi lubang kenikmatan miliknya.
“Ahhhhh”, desahan Liana terdengar lirih, ia menjambak rambut Adrian sambil memaju mundurkan kepala Adrian. Ia benar-benar menikmatinya.
“Ahhhhhh udah sayang,” kata Liana sedikit menggelinjang, rupanya ia hampir saja keluar, namun Adrian tetap memaksanya, lidahnya tetap bermain di lubang senggama milik Liana.
“Ahhhh, hhmmmpphh,” Liana makin meracau, ia makin mengangkat sebelah kakinya, seolah-olah ingin melebarkan selangkangannya agar juluran lidah Adrian menusuk makin dalam ke lubang memeknya.
“Ahhhhh sayaaaangggg,” Liana melenguh panjang, menurunkan kakinya sambil terus menjambak rambut Adrian, rupanya ia sudah mencapai orgasme, tubuhnya bergetar. Melihat hal itu, Adrian memainkan klitoris tantenya menggunakan jarinya, membuatnya makin menggelinjang hebat, “Ohhhh yessss,” suara Liana terdengar lirih.
Seperti dapat membaca pikiran, Liana kemudian membelakangi Adrian, lalu tubuhnya membungkuk sambil memegang ujung bathup, memperlihatkan keindahan tubuh bagian belakangnya. Pantatnya yang sungguh indah yang selama ini hanya mampir di imajinasi Adrian, kini terpampang nyata di hadapannya. Tanpa pikir panjang, Adrian memegang pantat Liana, lalu menyodoknya dari belakang.
“Ahhhhhhhh,” Suara desahan keduanya saat kontol Adrian berhasil menembus lubang memek Liana dari belakang. Posisi yang sungguh didambakan oleh banyak lelaki.
Plok plok plok, suara pertemuan kulit keduanya, Adrian menggenjot tantenya tanpa henti. Desahan demi desahan saling bersahutan menggema di ruangan kamar mandi tersebut.
“Ahh tanteee, aku mau keluar,” kata Adrian sambil mempercepat genjotannya, Liana tiba-tiba melepas genjotan Adrian, kemudian membalikkan badan dan menunduk lalu meraih kontol Adrian.
“Mmmphhhh,” suara Liana terdengar saat sedang melumat kontol keponakannya tersebut, “Ahhhhh tanteeee aku mau keluar,” kata Adrian kembali sambil terus menggenjot bibir tantenya tersebut.
“Ahhhhh ahhhhhh, tanteeee ahhhhh,” Tiba-tiba tubuh Adrian mengejang, ia menekan kepala Liana sambil menyodok kontolnya ke tenggorokan Liana, “Ahhhhhhh hmmmmm,” Akhirnya Adrian berdiam sejenak, lalu mencabut kontolnya dari mulut Liana.
“Huueeekkkkk, hueeekkkk”, rupanya tantenya sedikit mual, ia memuntahkan sesuatu, sepertinya itu spermanya. “Maaf tante,” Kata Adrian sambil tersenyum. “Gpp kok, karna kena tenggorokan aja,” jawab Liana sambil berkumur.
Sebuah hubungan intim yang begitu dahsyat. Namun, lebih dari sekadar hasrat, ada sesuatu yang lain—perasaan yang tak bisa dijelaskan, sebuah kebutuhan untuk lebih dekat.
Setelah Keheningan
Setelah sekian lama larut dalam kebersamaan mereka, akhirnya mereka keluar dari kamar mandi, masih membalut tubuh dengan handuk.
Liana berjalan ke tempat tidurnya, duduk di tepinya, lalu menghela napas panjang.
Adrian ikut duduk di sampingnya, merasakan atmosfer yang tiba-tiba berubah.
Mereka berdua terdiam sesaat, hanya mendengar suara detak jam di dalam kamar yang sunyi.
Kemudian, Liana membuka suara.
“Aku harus jujur,” katanya pelan, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
Adrian menoleh, menatapnya dengan sedikit kebingungan. “Jujur soal apa?”
Liana menghela napas lagi, lalu menatapnya dengan sorot mata yang sulit dijelaskan.
“Lowongan kerja itu… sebenarnya tidak ada.”
Adrian terdiam. Jantungnya berdegup lebih cepat.
“Aku cuma ingin kamu datang ke sini,” lanjut Liana, suaranya terdengar hati-hati. “Aku tahu ini egois, tapi aku nggak bisa lagi menahan diri. Aku ingin kamu di dekatku.”
Adrian masih terdiam, mencoba memproses apa yang baru saja ia dengar.
Jadi, semua ini… sebuah rencana?
Ia datang ke Jakarta bukan karena pekerjaan, tetapi karena Liana menginginkannya di sini.
Adrian menghela napas panjang. Sebagian dari dirinya merasa sedikit kesal—karena ia benar-benar berharap bisa mendapatkan pekerjaan baru.
Tapi di sisi lain…
Ia tahu betul bahwa ia juga menginginkan ini.
Liana mengulurkan tangan, menyentuh pipinya dengan lembut.
“Aku bisa memastikan kamu tetap tinggal di sini,” katanya pelan. “Aku bisa memberimu lebih dari yang bisa kamu dapatkan di tempat lain.”
Adrian menatapnya dalam. Ia tahu apa yang dimaksud Liana.
Ia bukan hanya sekadar tamu di apartemen ini.
Ia adalah seseorang yang Liana inginkan di dekatnya.
Ia adalah seseorang yang Liana simpan untuk dirinya sendiri.
Sebuah senyum kecil muncul di bibir Adrian.
Ia tahu, ia telah menjadi lebih dari sekadar keponakan baginya.
Dan tanpa berkata apa-apa, ia menarik Liana ke dalam pelukannya, membiarkan keheningan berbicara lebih banyak dari kata-kata.
Entah darimana tenaga itu muncul, keduanya kembali bercinta di balik selimut, namun lebih soft, hingga keduanya orgasme secara bersamaan dan kemudian tertidur.
Sebuah Akhir, Sebuah Awal
Malam itu, mereka tidur tanpa sehelai benang pun, dalam pelukan yang lebih hangat dari selimut mana pun.
Tidak ada lagi jarak, tidak ada lagi batasan.
Dan dalam pikirannya, Adrian tahu bahwa kehidupannya kini telah berubah.
Ia datang ke Jakarta untuk mengejar pekerjaan…
Tapi yang ia dapatkan adalah sesuatu yang lebih besar.
Sebuah hubungan yang dilarang. Sebuah kehidupan yang baru.
Dan di dalam hatinya, ia tidak ingin kembali lagi.
Ia ingin tetap di sini.
Di sisi Liana.
Di dalam dunianya.
0 Comments