Malam telah larut ketika Laras masih duduk di ruangannya, merapikan laporan yang baru saja selesai ia revisi. Kantor sudah hampir sepi, hanya menyisakan dirinya dan beberapa lampu redup yang masih menyala di sudut-sudut ruangan. Ia menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuh di kursi. Lelah, tapi ada rasa puas setelah menyelesaikan pekerjaannya.
Dari balik kaca besar yang memisahkan ruangannya dengan ruangan lain, Laras melihat bayangan seseorang mendekat. Sepatu kulit mengeluarkan suara pelan di lantai marmer, semakin dekat hingga akhirnya pintu diketuk ringan.
“Masih bekerja, Laras?” suara berat yang khas itu membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
Ia menoleh dan menemukan sosok pria yang sudah akrab baginya. Adrian, bosnya. Pria berusia hampir empat puluh itu selalu terlihat rapi, kemejanya masih licin meski hari sudah malam. Tatapannya tajam namun tak pernah mengintimidasi, selalu menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Laras mengangguk pelan sambil tersenyum, mencoba menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menyelimutinya.
“Baru saja selesai, Pak. Saya hanya memastikan laporan ini sudah sempurna sebelum saya serahkan besok pagi.”
Adrian mengangguk, lalu melangkah masuk dan duduk di meja di hadapan Laras, menatapnya dengan intens. Ruangan itu terasa semakin sunyi, hanya ada mereka berdua dalam batasan samar antara profesionalitas dan sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan kerja.
“Kau selalu teliti, itu yang membuatku semakin mengandalkanmu,” katanya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan yang menggoda. “Tapi kau juga perlu tahu kapan harus berhenti dan memberi waktu untuk dirimu sendiri.”
Laras tersenyum kecil, tangannya tanpa sadar meremas tepi roknya. Ada sesuatu dalam cara Adrian menatapnya yang selalu membuatnya merasa berbeda. Selama ini ia mencoba mengabaikan ketertarikan yang dirasakannya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya perasaan sesaat. Tapi di sini, di ruangan sepi yang hanya diterangi cahaya lampu temaram, ia tak bisa berpura-pura lebih lama.
“Mungkin Bapak benar,” bisiknya pelan. “Saya memang butuh waktu untuk… melepaskan semua beban.”
Adrian tersenyum samar, lalu berdiri dan berjalan mendekat. Laras menelan ludah ketika merasakan kehadirannya yang begitu dekat, aroma maskulin yang khas tercium samar di udara. Napasnya tertahan ketika Adrian mengangkat tangannya, jemarinya menyentuh dagu Laras dengan lembut, mengangkat wajahnya hingga mata mereka saling bertemu.
“Melepaskan beban…” ulangnya dengan suara yang lebih dalam, seolah menguji batas yang masih tersisa di antara mereka.
Laras tidak menolak ketika Adrian menundukkan kepala, bibirnya menyentuh sudut bibirnya dengan lembut, menguji, menunggu reaksi. Ia bisa merasakan hangatnya, sentuhan yang tidak terburu-buru, penuh kendali, namun menyimpan sesuatu yang jauh lebih membara di baliknya.
Laras menghela napas gemetar, lalu tanpa sadar jemarinya terangkat, menyentuh dada Adrian yang bidang. Pria itu hanya diam, membiarkan Laras merasakan debaran di bawah kemeja mahalnya. Ketika bibir mereka akhirnya menyatu dalam kecupan yang lebih dalam, Laras tahu tak ada lagi alasan untuk menahan diri.
Desahan pelan terdengar saat Adrian menarik Laras ke dalam dekapannya, menuntunnya dengan ciuman yang semakin menggila. Tangannya merayap ke pinggang ramping Laras, menariknya lebih dekat hingga tak ada lagi jarak di antara mereka. Laras merasakan panas tubuh pria itu menembus kain tipis yang membungkusnya, membuat darahnya berdesir tak karuan.
Saat Adrian menariknya ke sofa panjang di sudut ruangan, Laras tidak menolak. Tubuhnya jatuh ke atasnya dengan napas memburu, matanya menatap pria itu yang kini berada di atasnya, wajahnya penuh gairah yang terpendam. Jemari Adrian bergerak ke rambutnya, menarik ikatan yang menahan helaiannya hingga jatuh berantakan di bahunya.
“Indah sekali,” gumamnya, matanya menyapu wajah Laras dengan tatapan yang membuatnya semakin kehilangan kendali.
Tangan Adrian bergerak perlahan, turun dari wajahnya ke leher jenjang, lalu ke bahu. Laras menggigit bibir ketika merasakan jemari itu menyentuh kulitnya, membelai dengan penuh ketelatenan, seolah menghafal setiap lekuk tubuhnya. Ketika jemari itu turun lebih dalam, merayapi paha yang terbuka karena posisi mereka, Laras hanya bisa mendesah lirih.
“Kau begitu lembut… begitu manis,” suara Adrian terdengar nyaris serak ketika bibirnya mengecap kulit Laras, menciptakan jejak panas yang membakar di setiap inci yang disentuhnya.
Laras mencengkeram lengan pria itu, tubuhnya bergetar di bawah sentuhan yang semakin dalam. Adrian tahu betul bagaimana menyentuhnya, bagaimana membangkitkan gairah yang selama ini ia pendam dalam-dalam. Ketika bibirnya turun lebih jauh, menyusuri paha yang gemetar di bawahnya, Laras hanya bisa pasrah, membiarkan dirinya tenggelam dalam gelombang kenikmatan yang tak terbendung lagi.
Malam itu, di ruangan yang biasanya menjadi saksi kesibukan pekerjaan mereka, batasan di antara mereka runtuh. Tak ada lagi status, tak ada lagi aturan. Yang tersisa hanya hasrat yang tak lagi bisa dibendung, dan Laras menyerahkan dirinya sepenuhnya pada pria yang sejak lama ia inginkan.
0 Comments