unique visitors counter

ABG SMA Jilbab Pink Lagi Foto Bugil Sambil Remes Toket


-7
-7 points

Pagi yang dingin menjadi lebih hangat dengan aroma kopi yang menguar dari cangkir di meja dapur. Dia berdiri tak jauh, hanya mengenakan kemeja yang kebesaran, rambutnya masih berantakan. Saat dia menyesap kopi, matanya bertemu dengan mataku, penuh isyarat yang hanya kami mengerti. Tetesan kopi jatuh di sudut bibirnya, dan tanpa berpikir panjang, aku menghapusnya dengan ibu jariku—perlahan, nyaris menggoda.

Dia tidak bergerak, hanya menatapku dengan mata yang masih diselimuti kantuk, tapi ada kilatan kecil di sana—sesuatu yang lebih dari sekadar kebiasaan pagi. Jemarinya tetap melingkari cangkir, tetapi aku tahu perhatiannya bukan lagi pada kopi di tangannya. Napasnya masih teratur, tapi aku bisa merasakan udara di antara kami semakin pekat, seakan menyimpan sesuatu yang tak kasatmata.

“Apa kau selalu melakukan ini?” tanyanya dengan suara serak khas pagi.

Aku tersenyum kecil, membiarkan jariku tetap bertumpu di tepi bibirnya beberapa detik lebih lama sebelum akhirnya menurunkan tanganku perlahan. “Hanya jika ada sesuatu yang perlu kuperbaiki,” jawabku ringan.

Dia mendesah pelan, lalu kembali menyeruput kopinya, kali ini lebih hati-hati. Aku bisa melihat bagaimana uap hangat dari minuman itu naik, membingkai wajahnya yang masih setengah terjaga. Matahari yang baru muncul menembus jendela, membentuk garis-garis cahaya yang jatuh tepat di pipinya, memperlihatkan betapa lembutnya ekspresi pagi ini.

Aku mengambil cangkirku sendiri dan meniup permukaannya sebelum menyesap sedikit. Rasa pahit yang bercampur dengan sisa kantuk menghangatkan tenggorokan, menciptakan kontras antara udara dingin dan kehangatan yang tumbuh pelan-pelan di dalam diri.

Dia menaruh cangkirnya di meja dan mendekat. Tangannya yang bebas menyentuh lengan bajuku, menarikku sedikit lebih dekat. “Kau suka kopi pahit?” tanyanya, suaranya lebih pelan dari sebelumnya.

Aku mengangguk kecil, membiarkan jarak di antara kami semakin tipis. “Kopi pahit tidak seburuk yang dikira, kalau kau tahu cara menikmatinya,” balasku, membiarkan kata-kataku mengambang di udara.

Dia tersenyum, dan aku bisa melihat sesuatu di matanya—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar percakapan pagi. “Seperti pagi ini?” bisiknya.

Aku tidak menjawab, hanya membiarkan kehangatan kopi, matahari, dan keberadaannya memenuhi ruang kecil di antara kami. Karena pagi ini bukan hanya tentang aroma kopi yang memenuhi udara, tapi juga tentang sesuatu yang lebih sulit dijelaskan—sesuatu yang terasa dalam, mengalir tanpa terburu-buru.

Di luar, kota mulai terbangun, suara-suara kehidupan mulai terdengar samar dari kejauhan. Tapi di sini, di dapur kecil ini, waktu masih berjalan lambat, membiarkan kami menikmati setiap detik yang berharga.


Like it? Share with your friends!

-7
-7 points

0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *