Di tengah pesatnya arus digital, konten eksplisit yang melibatkan perempuan – termasuk yang mengatasnamakan identitas etnis seperti “cewek Melayu” – makin marak beredar di internet. Salah satu fenomena yang memprihatinkan adalah penyebaran foto atau video bugil yang melibatkan perempuan muda, baik secara sadar maupun sebagai korban eksploitasi. Dalam konteks norma hukum dan sosial, hal ini menimbulkan konsekuensi serius.




Menurut hukum di Indonesia, penyebaran konten pornografi – apalagi tanpa persetujuan – termasuk pelanggaran yang dapat dikenai sanksi pidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, setiap orang yang memproduksi, menyimpan, menyebarkan, atau memperjualbelikan konten semacam itu dapat dikenai hukuman penjara hingga 12 tahun dan/atau denda hingga Rp6 miliar. Jika individu dalam konten tersebut adalah korban manipulasi, maka pelaku penyebar dan pembuatlah yang bertanggung jawab secara hukum.
Dari sisi norma sosial dan budaya, masyarakat Melayu dikenal menjunjung tinggi nilai kesopanan, kehormatan keluarga, serta tata krama perempuan dalam ruang publik. Konten yang bertentangan dengan nilai tersebut dianggap merusak tatanan sosial dan dapat menimbulkan stigma berkepanjangan, terutama bagi pihak yang terlibat.
Namun penting juga diingat: tidak semua yang muncul di internet mencerminkan kenyataan. Banyak konten palsu, hasil editan, atau manipulasi AI (deepfake) yang menjadikan perempuan sebagai korban tanpa sepengetahuan mereka. Oleh karena itu, edukasi literasi digital sangat penting, tidak hanya untuk mencegah, tetapi juga untuk melindungi.
Kesimpulannya, baik dari segi hukum maupun etika, tindakan membuat atau menyebarkan konten vulgar harus dihindari. Masyarakat seharusnya lebih memilih jalan empati dan perlindungan hak, daripada menjadi bagian dari penyebaran dan penghakiman.
0 Comments